Kamis, 30 Juli 2009

Nyadran

Di tataran Jawa, sebagaimana biasanyanya bulan Ruwah (sya’ban) merupakan waktu diselenggarakan kegiatan ritual social-keagamaan yg disebut nyadran. Social karena kegiatan ini melibatkan banyak kalangan tanpa mengenal strata kaya-miskin dan keagamaan karena tradisi ini berisi doa-doa yang diajarkan agama Islam pada umumnya untuk almarhum keluarga yang telah dikuburkan.
Ritual nyadran berbeda dari tempat satu ke tempat lainnya. namun biasanya nyadran dimulai dengan membuat ambeng (makanan yg diletakkan dalam tumpeng). Ambeng tersebut berisi makanan lengkap dengan lauk pauknya, bahkan untuk keluarga yang mempunyai ekonomi lebih biasanya menambahkan makanan lain semisal ketan, apem dan lainnya. masing-masing keluarga dalam satu kampong biasanya membuat ambeng tersebut, namun itupun tergantung kemampuan yang bersangkutan. Jika ia tdk mampu untuk membuatnya tidaklah mengapa karena yang terpenting adalah kebersamaan dalam acara nyadran.
Biasanya nyadran diadakan pada hari kamis pagi. Ambeng ditutup bagian atasnya dengan daun pisang dan dibawa oleh keluarga, biasanya yang turut dalam ritual tersebut adalah kaum lelaki, sementara kaum wanita mengerjakan penyiapan ambeng serta berdoa dari rumah masing-masing. Semua ambeng akan dikumpulkan ditempat tertentu, biasanya adalah masjid. Disana akan banyak ambeng terkumpul. Kemudian setiap orang yang datang baik dewasa maupun anak-anak akan melingkar disetiap ambeng tersebut. Sesepuh desa (kyai) akan memimpin upacara berdoa bersama. Sebelumnya ia akan memberikan wejangan tentang kehidupan dan kematian, mengingatkan para peserta untuk ikhlas atas apa yang ditentukan oleh-Nya serta membuang jauh-jauh syirik dalam setiap aktifitas kehidupan. Setelah itu ia akan memimpin doa bersama, yang diakhiri dengan pembagian ambeng oleh masing-masing warga yang melingkari tiap ambeng. Biasanya tiap ambeng akan dibagi kepada empat orang.
Dari ritual ini setidaknya ada beberapa hal yang bisa diambil hikmahnya:
Pertama, nyadran adalah ungkapan rasa syukur pada yang kuasa atas segala nikmat yang diberikan. Dalam ritual ini setiap keluarga biasanya akan membuatkan makanan terbaik untuk diisi didalam ambeng yang berisi nasi, satu ekor ayam kampong panggang, telur dan lauk lainnya. tidak setiap saat mereka dapat membuat lauk seperti ini untuk konsumsi keluarga. Namun saat nyadran mereka rela untuk iklas memberikan yang terbaik bagi siapa yang akan mendapatkan ambeng mereka.
Kedua, nyadran mengajarkan sikap kedermawanan. Ditengah-tengah arus gaya hedonisme yang menggerus tatanan nilai budaya, nyadran bisa dikatakan sebagai salah satu pilar yang bisa menjaga sikap masyarakat untuk peduli dengan masayrakat sekitarnya. Mereka yang tidak mampu secara ekonomi pada saat nyadran akan mendapatkan makanan yang enak, begitu juga sebaliknya keluarga yang mampu akan lebih peka untuk bisa menyumbangkan rizqi yang didapatkannya.
Ketiga, nyadran mengajarkan sikap untuk menerima apa adanya. Sedari berangkat dari rumah untuk membawa ambeng, masing2 keluarga membuatkan yang terbaik ambeng mereka. Namun sesampainya di masjid, ambeng itu akan ditukar dengan orang lain yang kita tdk tahu apa sisinya karena ditutup dengan daun diatasnya. Setelah membuka dan ternyata isinya tidaklah lebih bagus dengan yang ia buat tidaklah membuat mereka kecewa. Nyadran mengajarkan manusia untuk menerima atas apa yang diberi oleh sang maha Kuasa. Begitulah kehidupan, kadang yang diharapkan tidak sesuai kenyataan, namun pengorbanan dan semangat untuk terus memberikan yang terbaik tetap dijaga.
Keempat, nyadran sebagai sarana mendoakan kepada keluarga dan leluhur serta mengingat kematian. Acara tradisi nyadran selalu diisi dengan doa untuk diampuni dosa-dosa keluarga yang terlebih dahulu dipanggil-Nya. Kyai selalu berpesan jangan mengaharapkan dari orang yang sudah meninggal, namun merekalah yang sudah meninggal membutuhkan kita yang masih hidup untuk menjadi anak yang sholeh dan bisa mendoakannya. Tradisi ini juga mengajarkan pada manusia untuk selalu mengingat kepada kematian sebagaimana yang dicontohkan kanjeng nabi.