Minggu, 30 Agustus 2009

Oleh-oleh fieldtrip 1: Juhnde: desa bio-energi

Sabtu (29/08) kemaren ada kegiatan ‘fieldtrip’ yang diselenggaran oleh manajemen Fakultas Pertanian. Mulai dari pengaturan acara ini saya sudah mulai kagum. Pengumuman cukup disebar lewat email karena maklum saja disini tiap orang sangat mudah akses internet dengan kecepatan bite-nya luar biasa. Lalu juga dengan membayar 4 Euro (Rp.50rb-an) saja, jumlah uang yg bahkan lebih murah untuk membeli seporsi kebab. Harga segitu kami akan diajak ke sebuah desa berbasis bio-energi (biogas), petani/peternak sapi perah dan peternakan kuda. Jikapun diminta bayar lebih, saya kira tidak rugi untuk dapat melihat lebih dekat pengelolaan biogas secara moderen juga bagaimana kehidupan keluarga petani disini.

Rombongan berangkat pukul 09.00 menggunakan bus. Saat menaiki bus ini, lagi-lagi saya dibuat kagum. Desain bisnya yang beda dengan yg biasa kita temukan di Indonesia. Tempat duduknya yang nyaman, lengkap dengan headset untuk mendengarkan musik, layaknya sedang naik pesawat terbang saja..

Perjalanan pertama singgah di desa Juhnde. Sebuah desa yang tak jauh dari Goettingen. Pengenal nama desa yang saya lihat cuma terbuat dari papan kecil, ditulis nama desa serta ditanam dengan paralon besi kecil. Jika tidak seksama, mungkin tidak sadar kalau kita sudah masuk wilayah desa tersebut. Langsung angan saya terbang ke perbatasan-perbatasan wilayah desa, kecamatan ataupun kabupaten dan provinsi yang ada di Indonesia yang biasanya dibuat ‘megah’ lengkap dengan gapuranya.

Kekaguman berikutnya ketika mulai memasuki wilayah instalasi bio-energi (biogas), dari kejauhan saya sudah melihat dua bagunan ‘bio-digester’ tempat fermentasi feces ternak untuk diambil gas nya. Luar biasanya besarnya, berdiameter 24 meter, tinggi 8 meter, sementara satunya lagi berdiameter 34 meter dan tinggi 6 meter. Lalu lalang traktor-traktor besar yang mengangkut silase dan kotoran ternak semakin menambah nuansa sibuknya kegiatan. Instalasi ini dibangun terpusat artinya bio-digester, ‘mesin’, tempat penampungan gas, bahan organic lain, kantor dibuat dalam satu area. Semua instalasi tersebut diletakkan diluar area pemukiman warga, dibuat layaknya sebuah pabrik industri yang memakan tempat 300 ha luasnya.

Kami disambut oleh ‘guide’ yang sehari-hari juga merupakan pekerja di tempat tersebut. Beliau sudah berusia 60an tahun, namun masih sangat aktif dan ramah mengantar rombongan dan menjelaskan segala macam. Pertama kami diantar ke ruang diskusi, untuk mendengarkan sekilas profile Juhnde sebagai desa bio-energi. Kemudian, perjalanan dilanjutkan untuk melihat papan informasi. Papan informasi ini menarik juga, disitu ditempel informasi mengenai bagaimana listrik dan air panas buat penghangat penduduk dibuat, berapa watt listrik yang dihasilkan dan sebagainya. Kemudian kami bergerak mendekat ke bio-digester, ‘mesin’ pengubah gas menjadi listrik, tempat penampungan bahan organic tambahan (rumput, jagung dll). Rombongan berikutnya diantar ke ruang mesin pembangkit listrik tenaga kayu bakar dan minyak. Dua instalasi terakhir ini biasa digunakan pada musim winter ketika kebutuhan air untuk penghangat rumah penduduk tinggi juga merupakan antisipasi jika pasokan listrik dari bio-digester berkurang. Secara umum seluruh instalasi di area tersebut terdiri dari instalasi bio-digester, pembangkit listrik tenaga api dan pembangkit listrik tenaga minyak.

Beberapa hal yang semakin membuat saya terkagum-kagum antara lain:

Pertama, instalasi bio-energy ini mampu menghasilkan listrik 10.000.000 kWh pertahun. Listrik ini tidak hanya mampu mencukupi kebutuhan penduduk di desa Juhnde, namun juga dijual ke PLN-nya Jerman. Selain itu mereka mengklaim mampu menurunkan emisi gas CO-2 3.300 ton/tahun.

Kedua, selain listrik instalasi ini juga menghasilkan air panas yang dialirkan ke rumah-rumah penduduk desa sebagai pemanas ruangan. Hal ini dengan memanfaatkan panas yang dihasilkan dari proses menghasilkan listrik. Mungkin ini salah satu hasil ikutan proses tersebut. Jika sebelumnya masyarakat perlu membeli minyak untuk menghidupkan mesin pemanas rumah, kini mereka tdk melakukannya lagi.

Ketiga, berbeda dengan konsep yang biasa diterapkan di Negara berkembang, dimana instalasi dikelola secara bersama-sama oleh penduduk, di Juhnde boleh dikatakan sangat professional layaknya industri dengan tenaga kerja terampil dan peralatan yang moderen serta manajemen profesional. Biaya pembangunannya mencapai 4,3 juta Euro atau setara Rp. 60,2 M. Sepertinganya berasal dari pemerintah daerah. Sebuah nilai yang sebenarnya ‘tdk seberapa’ untuk sebuah negara termasuk Indonesia.

Keempat, konsep pembuatan program Juhnde sebagai desa bio-energi dilaksanakan bersama-sama dengan penduduk desa. mereka membagikan diri masuk ke dalam devisi-devisi yang masing-masing mempunyai tupoksi yang berbeda. Sehingga masyarakat benar-benar bisa merasa ‘memiliki’ dan merawatnya. Selain itu instalasi ini juga merupakan bentuk kerjasama yg sukses antara pemerintah - perguruan tinggi (uni Goettingen) – industri (listik) dan masyarakat.

Kelima, kebutuhan kotoran ternak ‘hanya’ berasal dari 9 peternak, namun jumlah ternak sapi perahnya mencapai 500 ekor he he.. Sementara silase dan kayu juga didatangkan dari wilayah tersebut, sehingga masyarakat juga dapat menjual hasil samping pertaniannya ke instalasi tersebut.

Keenam, jika dibayangkan instalasi bio-energi ini kumuh dan jorok karena berurusan dengan kotoran sapi, Juhnde justru layaknya tempat wisata yang cukup menarik dan nyaman. Saya terbayang mungkin ini bisa diterapkan untuk melengkapi program “Agro-Edu Tourism” di laboratorium lapang Fakultas Peternakan. Pelayanan guide yang professional, meskipun beliau sudah sepuh.. rumah singgah yang dibuat dari kayu, digunakan sebagai kantor, ruang diskusi tamu dan acara penyambutan tamu dengan desain taman yang menarik. Juga petunjuk dan papan informasi yang lengkap dan nyaman untuk dibaca, meski kali ini mereka masih hanya menggunakan bahasa Jerman.. padahal tamu mereka berasal dari hampir seluruh dunia hehe.. maklum lah Jerman juga termasuk ‘fanatic’ dengan bahasa ibunya.

Success story program ini dalam memotivasi masyarakat untuk aktif dalam pembangunan dan pengelolaan Juhnde sebagai desa bio-energi mempunyai beberapa resep. Setidaknya ada 3 hal yg saya tangkap: 1). penjelasan secara menyeluruh kepada masyarakat ttg konsep melalui village-gathering maupun informasi tertulis, juga dijelaskan masalah-masalah yang kemungkinan muncul. 2). Partisipasi aktif masyarakat dalam workshop maupun kelompok kerja (divisi) yg dibentuk, dan 3). Tenaga kerja dan individu yang kompeten yg menangani dan menjembatani antara project dan masyarakat.

Setelah kami selesai diajak melihat langsung hampir seluruh instalasi tersebut, perjalanan diteruskan melihat salah satu petani/peternak yang ikut berperan dalam program ini. Ah, nanti saja ya cerita tentang bagaimana beliau, istri dan seorang anaknya mengelola lahan pertanian seluas 100-an ha dan sapi 100 ekor…
Ruar biasa..!!

Goettingen, 30 Agustus 2009

Rabu, 19 Agustus 2009

Lelaki bercelana ngatung dan wanita bercadar: riwayatmu kini

Luar biasa, mungkin kata tersebut cukup mewakili dampak dari ledakan bom yang terjadi di dua hotel berbintang di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Mulai dari ‘dampak’ meninggalnya korban, pidato presiden yang menuai kontrofersi, tenggelamnya berita kasus ‘sengketa’ pemilu hingga saat ini dampak psikologis maupun social.

Saya tidak akan menulis tentang teori konspirasi, karena memang bukan ahlinya. Namun sedikit kegundahan sebagai warga Negara Indonesia yang melihat begitu hebatnya berita kejadian tersebut dan segala turunannya menghujani pola berfikir rakyat Indonesia tiap saat dan hampir dari tiap penjuru. Semua stasiun berita elektronik dan cetak seperti tidak kehabisan berita dengan tema yang sama “memburu teroris”. Namun ternyata dampak tersebut tidak berhenti sampai disitu. Lebih hebat lagi dampak sosial humanisme masyarakat yang secara sadar atau tidak digiring untuk mengiyakan bahwa teroris itu mempunyai ciri rajin beribadah, mudah bergaul, baik sesama warga. dari segi fisik mereka yang pria akan berjenggot dan bercelana ngatung. Itupun masih ditambah jika yang wanita akan memakai cadar.. luar biasa!

Sadar atau tidak masyarakat sedang diajarkan untuk tidak mudah percaya kepada orang yang mempunyai ciri tersebut. Bisa dibayangkan, orang yang rajin beribadah serta baik dengan tetangga akan mendapat sorotan lain saat ini. Sementara Indonesia mempunyai kultur gotong royong dan kekeluargaan serta adat ketimuran yang mudah peduli dengan tetangga, masyarakat. Lalu bagaimana pula nasib sebagian warga Negara yang memilih berbusana sesuai keyakinannya menutup aurat dengan ditambah cadar atau lelaki yang memakai celana ngatung… dan itu terbukti, di Jawa tengah belasan lelaki terpaksa berurusan dengan polisi karena memakai celana ngatung, juga di Serang sepasang suami istri juga diciduk polisi ‘hanya’ gara-gara memakai identitas tadi…
Luar biasa, padahal yang mereka ‘tangkap’ adalah warga Negara Indonesia yang menganut ajaran agama Islam resmi diakui oleh Negara.. justru mereka sedang berusaha mengerjakan perintah agamanya.. mereka juga warga Negara yang mempunyai hak melaksanakan agamanya seperti lainnya.. tapi apa daya, Indonesia yang mayoritas muslim ini sudah terlanjur asik dengan dunianya, berbusana ala barat dijadikan kiblat sementara menutup sempurna aurat menjadi cela.. lalu mau sampai seperti apakah nantinya negeri tercinta ini? Belum cukupkah 64 tahun umurnya untuk menjadi lebih bijak? Bijak sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar merenungi sabda Tuhan-Nya: “Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS 7:96)”

Ya Rabbi, ampuni kami… tunjukilah kami jalan yang lurus, jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan yang sesat. Amin.

Sabtu, 08 Agustus 2009

Kematian itu (memang) susah ditebak…

Seminggu terakhir ini pers sibuk menayangkan berita tentang kematian. Ada kematian artis yang sedang naik daun, pujangga si burung merak nan anggun itu, kematian penumpang dan awak maskapai penerbangan merpati dan terakhir yang lebih heboh lagi kematian gembong teroris di Temanggung juga anak buahnya di Bekasi.

Mengapa saya beri judul tulisan ini kematian susah ditebak. Mungkin sebagian dari kita sudah mafhum, bahwa diantara rahasia yang maha kuasa adalah kematian, selain jodoh dan rejeki. Kematian memang susah ditebak, sebut saja artis raja pop dunia yang sedang mempersiapkan konser mega tunggalnya, belum tiba saatnya manggung, tidak ada kabar berita sakit atau apa tiba-tiba kematian menjemputnya, dan dunia heboh… juga didalam negeri, artis yg tidak kalah fenomenal, yang terlambat menjadi terkenal, sedang laris lagunya dihafal penikmat, tiba-tiba kematian datang juga… belum genap tujuh hari, sahabatnya yang juga ‘pemilik’ tempat liang lahat untuk mengubur artis tadi pun tiba-tiba pula dijemput oleh kematian.

Lalu kabar melompat ke pulau di ujung nusantara, sebuah pesawat terbang tiba-tiba dikabarkan hilang dan ternyata ditemukan sudah menjadi puing, dan semua orang yg ada dipesawat itu pun menemui kematian.. serta saat ini, tidak henti-henti layar televise, surat kabar maupun radio ramai membicarakan keberhasilan polisi menangkap teroris. Ada berbagai pakar diwawancara, peneliti teroris maupun intelejen kebanjiran order siaran membicarakannya. Apapun yang dibicarakan, teori segala macam dikeluarkan yang kadang membuat jidat berkali-kali mengerenyit, hakikatnya mereka juga bicara kematian. Kematian orang yang diberondong peluru dikamar mandi ataupun dirumah kontrakan. Mungkin sorenya mereka segar bugar, namun juga tiba-tiba kematian menjemputnya.

Apapun caranya, kematian memang mudah datang dan susah ditebak. Siapa sangka si embah yang punya tertawa khas itu tiba-tiba mati. Siapa duga si burung merak temannya juga menyusul dengan cepat. Siapa sangka pula bayi yang naik pesawat itu juga meninggal. Dan siapa juga mengira penyewa mobil itu juga meninggal. Padahal mungkin mereka atau kita tidak mempunyai firasat apapun. Si embah, si burung merak, si bayi, bahkan si ‘teroris’ tidak menyangka akan berakhir jatah hidupnya. Kenapa mesti sekarang, kenapa tidak dulu saja atau kenapa tidak besok-besok saja. Ah, itu mah rahasia sang Gusti… Ternyata kematian tidaklah mengenal umur, tempat bahkan cara. Kalau kita sedikit saja mau merenungkannya, mungkin keyakinan kita akan bertambah. Bahwa Ia pernah berkata “"Kesenangan di dunia ini hanya sebentar, sedang akhirat lebih baik bagi orang-orang bertakwa, dan kamu sekalian (yang bertakwa dan yang tidak) tidak akan dianiaya sedikitpun” (QS Al-Nisa': 77).

Jadi kehidupan itu sebentar dan kematian tidak terduga.. lalu apakah akan disia-siakan kesebentaran ini dan kematian bisa menjemput kapan saja, sementara kehidupan abadi justru datang setelahnya…? Saya pun tidak mudah menjawabnya…

Goetttingen, 9 agustus 2009