Sabtu, 27 Desember 2008

Haram Hukumnya Berdiam Diri dalam Sistem yang Kufur

Indonesia hanyalah salah satu dari sekian banyak negeri muslim yang tersebar di seluruh dunia. Negeri yang mayoritas penduduknya adalah muslim, dan kita adalah salah satunya. Menyambung tulisan saya sebelumnya bahwa seorang mukallaf memiliki kewajiban untuk mengetahui ketetapan Allah atas dirinya terkait setiap hal yang akan dia perbuat, maka saya ingin mengetengahkan pertanyaan "bagaimana hukum Islam memandang kaum muslimin yang tinggal di negeri muslim tetapi negeri tersebut tidak menerapkan hukum islam?".

Mungkin kita bisa mengajukan alasan bahwa tempat kita dilahirkan adalah bagian dari ketetapan Allah(qadha)yang wajib kita terima dengan ikhlas tanpa perlu bertanya. Akan tetapi, ketika negeri ini, tanah air ini, bumi pertiwi ini, tidak menerapkan hukum Allah, apakah ini termasuk bagian dari ketetapan Allah?. Tentu saja tidak.

Untuk mengetahui hukum ini mari kita lihat ketetapan Allah terkait kewajiban menerapkan hukum islam di tengah-tengah kehidupan.

Sesungguhnya kewajiban kaum muslim untuk terikat dengan hukum Islam bukanlah perkara yang patut diperdebatkan, karena dalil-dalil untuk perkara ini sudah sangat jelas dinyatakan oleh Allah di dalam al-qur'an. Allah berfirman dalam al-qur'an surat al-maidah ayat 50 "Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Sistem hukum siapakah yang lebih baik daripada sistem hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?". Dari ayat ini kita ketahui dengan pasti bahwa kaum muslimin wajib untuk berhukum dengan hukum Islam.

Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana caranya? Di sinilah pentingnya melakukan perubahan, bergerak untuk berubah. Allah berfirman dalam al-qur'an surat ar-ra'du ayat 11 "Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan mereka sendiri". Jika kita benar-benar menginginkan negeri ini menerapkan hukum Allah, maka kita harus melakukan perubahan tersebut. Adanya penghalang dalam perjuangan adalah perkara yang wajar, tinggal bagaimana kita menghadapinya. Saya kutipkan hadits dari Rasululah saw "Penghulu para syuhada adalah Hamzah dan orang-orang yang mengoreksi penguasa yang dholim lalu mereka dibunuh karenanya". Lihat juga firman Allah dalam surat Muhammad ayat 7 "Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong agama Allah, maka Allah akan menolong kalian".

Subhanallah..Allahuakbar..Setelah meyakini jaminan dari Allah tersebut di atas, tentu tidak pantas lagi bagi kita untuk ragu dalam menapaki jalan perjuangan ini.
Adapun sistem hukum yang seharusnya ditawarkan oleh kaum muslimin adalah sistem khilafah, bukan sosialisme, kapitalisme, ataupun neo-neo yang lain. Karena keberadaan khilafah merupakan kewajiban bagi kaum muslimin. Berikut dalil-dalil yang menjelaskan perkara ini:

1.dalil al-qur'an

Allah berfirman dalam al-qur'an surat an-Nisa ayat 58-59 "Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyampaikan berbagai amanat kepada orang yang berhak menerimanya dan memerintahkan kalian agar membuat ketetapan hukum dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah maha mendengar dan maha melihat. Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya serta ulil amri di antara kalian. Jika kalian berbeda pendapat dalam suatu perkara, maka kembalikanlah perkara tersebut kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kalian memang beriman kepada Allah dan hari akhir. Sikap demikian adalah lebih utama dan lebih baik akibatnya."

Adapun yang dimaksud amanat dalam ayat di atas adalah amanat secara umum, termasuk di dalamnya masalah fa'i dan penunaian hak-hak kaum muslim (ibnu jarir ath-Thabari). Adapun yang dimaksud dengan ulil amri pada ayat berikutnya adalah para pemimpin dan para penguasa (ibnu jarir ath-Thabari).

2.Dalil as-sunnah

Adapun hadist yang meriwayatkan kewajiban khilafah atas kaum muslimin juga sangat banyak. Imam Muslim menuturkan riwayat dari Nafi' ra. "Umar pernah berkata kepada saya : Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda "siapa saja yang melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menjumpai Allah pada hari kiamat nanti tanpa mempunyai hujjah (alasan). Siapa saja yang mati, sementara tidak ada bai'at di lehernya, berarti dia telah mati jahiliyah."(HR Muslim)

3.Dalil ijma shahabat

Setelah Rasulullah saw wafat, para shahabat berembuk untuk menentukan pengganti kepemimpinan Beliau sehingga mereka menunda pengurusan jenazah Rasullah, sementara pengurusan jenazah adalah perkara yang wajib. Atas dasar ini, keharusan adanya pemimpin di tengah-tengah kaum muslimin lebih mendesak daripada pengurusan jenazah.

4.kaidah syariat

Ada sebuah kaidah syariat yang berbunyi "suatu kewajiban tidak terselenggara dengan sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib adanya". Penerapan hukum islam tidak akan terselenggara dengan sempurna kecuali dengan adanya sistem khilafah, maka sistem khilafah itu wajib adanya.

Demikianlah, begitu gamblang kewajiban untuk menegakkan sistem khilafah demi mewujudkan kembali kehidupan islam. Jika ini merupakan sebuah kewajiban, tentu meninggalkannya merupakan sebuah keharaman. Jika mengubah sistem kufur yang saat ini menguasai negeri kita dan negeri-negeri lain di dunia merupakan hal yang wajib, tentu berdiam diri saja melihat kenyataan ini adalah perkara yang haram. Wallahu'alam.

Selasa, 16 Desember 2008

Istriku, kekasihku..

“Jika ada suatu mahluk yang boleh disembah oleh manusia, tentu suami adalah tempat yang ‘seharusnya’ disembah oleh istrinya..” begitu kira-kira kanjeng Nabi Muhammad SAW pernah berkata ditahun 600-an. Kalau dilihat selintas, kalimat tersebut terkesan memberikan tempat yang istimewa bahkan teramat istimewa kepada seorang suami di keluarganya.. kalimat yang mendiskreditkan posisi istri (wanita) pada keluarga.. maka wajar jika para wanita pada jaman sekarang banyak yang tidak setuju bahkan menentangnya atau hal-hal yang terkait dengannya. Bagaimana tidak, istri (wanita) seolah-olah hanya dijadikan sebagai pelengkap bahkan mungkin seperti layaknya budak. Memposisikan saumi sebagai ‘sesembahan’ berarti menjadikannya seolah-olah sesuatu sebagaimana tuhan yang memang harus disembah.. seolah-olah tidak ada kamus salah dari apa yang dilakukan oleh suami yang harus dipatuhi secara total oleh sang istri.
Namun, jika kita coba mencermati makna kalimat tersebut, mungkin akan menjadi lain cara pandang diatas. Untuk melihat hal tersebut saya akan coba mengurainya secara perlahan dari apa yang telah saya lalui bersama istri saya tercinta..
Semenjak kami menikah kesepakatan untuk menjadikan keluarga sebagai sarana menggapai RidlaNya sudah ditetapkan dari awal. Konsekuensinya, segala sesuatu yang terjadi pada keluarga, maka prioritas utama adalah bagaimana ‘menggapai Ridla-Nya’ begitu tekad kami. Tapi, apakah hal tersebut berjalan mulus, tentu tidak.. bagaimana mungkin, kami menikah dengan sebelumnya tidak pernah menganal model pacaran sebagaimana layaknya trend sekarang. Artinya, kami belum pernah ‘bersentuhan’ langsung satu sama lain. Namun anehnya, proses saling mengenal dan ‘bersentuhan’ langsung setelah pernikahan menjadi keasikan dan keunikan tersendiri, maka wajar jika Prof. Quraish Shibah berkata bahwa pernikahan akan menjadikanya sebagai sesuatu yang sangat istimewa, seorang wanita akan rela berada dekat dan membuka semua rahasianya dengan seseorang yang sebelumnya tidak dikenalnya, ia rela menggantungkan keyakinannya pada suaminya melebihi keyakinannya pada perlindungan keluarganya. Subhanallah..
Begitu pula apa yang telah dilakukan oleh istriku. Sebelum kami menikah istriku dikenal sebagai orang yang ramah, supel namum belum pernah dekat dengan lelaki selain keluarganya. Masih segar dalam ingatan, suatu waktu ketika saya selesai melamarnya adik lelakinya pernah mengenalkan kakaknya melaui perakapan kami di telepon.. ‘kakak adalah orang yang sangat baik, dia sangat pandai menyembunyikan perasaan sesungguhnya kepada orang lain, dalam kondisi apapun’.. saat itu saya hanya bisa tersenyum namun juga heran, sebegitukah dia calon istriku, meski tentu dalam hati saya mengamini apa yang diutarakan calon adik iparku.
Hari-hari berlalu semenjak kami menikah, selayaknya pengantin baru maka semua serba istimewa.. namun bagi saya tidak ada yang lebih istimewa selain sekarang adanya seseorang yang menjadi pasangan hidup saya.. saya perlahan mulai mengenal siapa istri saya dan tentunya sekaligus ingin membuktikan apa yang pernah dikatakan adiknya. Subhanallah… istriku memang istimewa, dia adalah wanita yang mungkin jarang ditemui pada masa sekarang. Istriku benar-benar seperti penampakan imajinasi saya ketika dulu saya mendengarkan ceramah ustadz-ustadz tentang bagaimana wanita shalikhah itu. Istriku mampu mempraktikkan perannya sebagai istri yang sempurna. Semua begitu indah baginya, hampir tidak pernah saya melihat istriku mengeluh tentang kondisi kami.
Ah, istriku.. engkau begitu sempurna, dan saya merasa malu padanya karena ‘mungkin’ belum bisa menjadi suami yang sempurna baginya. Istriku mampu membuat saya ‘minder’ ketika berbuat salah.. padalah entah sudah tidak terhitung kesalahan saya padanya.. bagaimana mudahnya saya emosi adalah langganan kesalahan saya. Dia mampu menjadi pengingat bagi saya ketika akan berbuat salah. Istriku juga mampu membuat hati ini selalu berdebar jika telah berbuat salah..
Aha.. mungkin ini maksud apa yang telah diutarakan Nabi diawal tulisan ini.. semakin dalam istri mencintai dan mematuhi suami, bukan membuat suami semakin ingin berbuat seenaknya sendiri.. semakin sempurna perbuatannya sebagai ‘hamba’ kepada ‘sembahannya’ maka semakin membekas dalam pula ‘sesembahan’ mencintai ‘hambanya’. Ah, istriku kamu begitu istimewa.. bagiku kalimat yang lebih tepat adalah: “Jika ada suatu mahluk yang boleh disembah olehku, tentu saat ini istriku adalah tempat yang akan disembah olehku..”
Terima kasih istriku, engkau benar-benar menjadi kekasih sejatiku..

Goettingen, 26 Oktober 2008

Kamis, 11 Desember 2008

Budaya Latah yang Tak Bertanggung Jawab

Seorang muslim ketika sampai usia balighnya, maka telah jatuh hukum atas dirinya. Tak sepantasnya lagi ia menjadi pribadi-pribadi yang 'sekedar mengekor' saja. Entah itu pada orang tua, pada teman, pada kakak, pada guru, apa tah lagi pada orang-orang jahil yang tak berilmu. Kondisi dewasa ini, di mana kedewasaan dan kematangan seorang manusia sudah tak sejalan lagi dengan usia balighnya. Pada hakikatnya hal ini dikarenakan ada yang salah dalam metode pendidikannya. Baik oleh keluarga, masyarakat, atau pun negara melalui institusi pendidikan formal. Seorang anak muslim pada masa Rasulullah dan para shahabat sudah memiliki kapasitas ilmu yang luar biasa. Sementara saat ini, usia 15 tahun saja remaja kita bahkan belum bisa mengambil keputusan terkait jalan hidupnya.
Lihat saja sebentar lagi menjelang tahun baru. Remaja kita yang nota bene muslim dan sudah baligh, bahkan ada yang sudah baya ataupun hampir renta, semua berbondong-bondong ikut merayakan 'tahun baru', yang mereka tidak tahu bagaimana hukumnya. Sekedar 'latah' saja. Ada yang lebih menyedihkan, mereka tahu tetapi menutup mata, telinga dan hati mereka rapat-rapat. Sekedar tak ingin di anggap ketinggalan zaman. Naudzubillah.
Adapun terkait perayaan tahun baru secara hura-hura, sesungguhnya tak ada ikhtilaf di sana. Status keharamannya sudah jelas. Di lihat dari sejarah, maka tidak dapat dipungkiri bahwa perayaan tersebut sangat erat kaitannya dengan ibadah dan budaya orang kafir. Sementara Rasulullah bersabda "Siapa yang menyerupai pekerjaan suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka"(HR. Abu Dawud, Ahmad, dan ath-Thabrani). Di lihat dari format acara perayaan tersebut pun sudah sangat jelas keharamannya. Di sana hanya ada hura-hura, ikhtilat, membuka aurat, dan keharaman lainnya. Sementara ada kaidah yang mengatakan "sarana yang mengantarkan pada keharaman, maka hukumnya haram".
Memang masih ada kalangan ulama yang berpendapat membolehkan perayaan tahun baru pada kondisi tidak ada hal-hal yang mengharamkan di sana. Misal di isi dengan aktifitas shalat malam bersama, renungan bersama, dan aktifitas halal lainnya. Akan tetapi untuk hal ini juga ada ulama yang berpandangan bahwa jika renungan dan atau yang lain tersebut dilakukan semata karena agenda tahun baru tersebut, maka hal ini termasuk bid'ah.
Sebagai seorang muslim yang mukallaf, sepantasnyalah kita mampu mengambil keputusan untuk segera meninggalkan keharaman. Bagaimana dengan perkara yang masih ada ikhtilafnya? Adalah bijak jika kita pun meninggalkannyanya karena Rasul juga menganjurkan pada kita agar meninggalkan perkara yang subhat. Demikianlah jika kita termasuk orang-orang yang hati-hati. Semoga bermanfaat. Wallahu'alam.

Minggu, 07 Desember 2008

Mereka menyerahkan dirinya …

Malam itu hening, di sebuah rumah di daerah Palestina, seorang lelaki terjaga dari tidurnya. Wajahnya mengkilat, terlihat keringat melekat membasahi kening dan tubuhnya. Dadanya naik turun bergerak memburu deru nasaf, seolah paru-parunya tidak cukup ruang menampung udara.. wajahnya sedikit pucat. Terlihat jelas ia gelisah.. ini bukan mimpi pertamanya. Mimpi yang membuatnya selalu terjaga dari tidurnya.. Mimpi yang semakin membuatnya gelisah. Bagaimana tidak, tidak sekali ia bermimpi hal yang sama. Malam masih tersisa, Ia bergegas bersimpuh mengadu pada Tuhan Yang Maha Esa memohon petunjukNya…
*****
Di belahan bumi lainnya berjarak 1500 km dari tempat itu terlihat pemuda. Ia tinggal bersama ibu yang sangat menyayangi dan disayanginya di daerah yang terpencil, jauh dari penduduk. Pagi itu pemuda ini seperti biasa membantu aktifitas ibundanya. Mereka sudah lama tinggal hanya berdua. Menghabiskan waktu bersama dengan bekal keimanan pada Tuhan yang menancap kuat di dada-dada mereka. Keimanan yang membuat mereka bisa bertahan didaerah yang tandus, kering dan jauh dari manusia lainnya. Mereka yakin suatu saat suami dan ayah mereka akan datang berkumpul dengan mereka.
*****
Hari masih pagi, namun lelaki itu sudah sibuk menyiapkan dirinya. Ia sedang bersiap untuk melakukan perjalan jauh. Masih ada sisa gelisah di sudut hatinya. Tapi, kekuatan Iman telah menuntunnya untuk segera bergegas melakukan tugasnya. Ya, hari itu ia akan menempuh perjalanan yg jauh, menemui istri dan putra tunggalnya yang sudah cukup lama ditinggalkannya, melaksanakan tugasnya. Namun kenapa ia gelisah, bukankah seharusnya ia bahagia karena akan bertemu dengan keluarganya.. ternyata mimpinya semalam masih sangat membekas.. mimpi yang baginya merupakan titah yang harus dijalankan… mimpi di luar logika manusia, yang membenturkan perasaannya sebagai seorang ayah dan seorang ‘utusan’..
****
Terik matahari menyengat. Sesekali debu dan pasir menderu diterjang angin. Hanya padang yang tandus sepanjang mata memandang. Namun itu tidak menyurutkan langkah lelaki itu. Sesekali ia berhenti untuk menyeka peluh dan memastikan arah jalan.
Cukup lama ia tertegun ketika dilihatnya sebuah rumah sederhana. Sejurus kemudian ia percepat langkahnya menuju rumah itu. Persis seperti dugaannya, di dalam rumah itu hanya ada dua penghuni. Segera ia temui keduanya yang tak lain adalah istri dan anaknya. Ia hanya sesekali datang kepada mereka. Kali ini ia datang tidak sekedar melepas rindu.. Setiap berkunjung ia melihat anak satu-satunya semakin tumbuh menjadi pemuda yang gagah. Di hatinya ia berguman, lelaki inilah kelak yang akan meneruskan perjuangannku.. tapi… buru-buru ia tepis keraguannya.
Hari sudah menjelang sore. Selepas mereka saling bercengkrama melepas rindu, lelaki itu memanggil putranya. Sengaja ia mengajak putranya untuk berdua saja menjauh dari istrinya. Ia ingin membicarakan sesuatu yang selama ini mengganjal dihatinya yg merupakan tugas baginya, hanya berdua dengan putranya. Sejenak ia tertegun memantapkan hati dan mencoba mentata apa yang akan dikatakannya. “Ismail anakku, aku diperintahkan Allah untuk menyembelihmu” mantap kalimat itu meluncur.. sejenak hening.. bagaimana tidak, sebagai seorang ayah, Ibrahim sudah sangat lama mengidamkan dikaruniai anak. Sudah puluhan tahun ia bedoa. Kini setelah ia punya seorang anak lelaki yg gagah, yang diharapkan menjadi penerusnya oleh Allah diuji untuk dikorbankan dan disembelih oleh dirinya.
Pemuda yg diajak bicara tidak berekspresi. Wajahnya tetap tenang tidak menampakkan kekagetan dan kekhawatiran. Tanpa ragu ia berkata “Wahai ayahku! Laksanakanlah apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepadamu. Engkau akan menemuiku insya-Allah sebagai seorang yang sabar dan patuh kepada perintah”.. Jawaban yg luar biasa keluar dari mulut pemuda itu….
****
Ribuan tahun yang lalu peristiwa itu nyata terjadi. Allah telah menuliskan dalam tinta emas sejarah perjalanan hambaNya yang beriman. Perjalanan Iman hamba Allah yang sarat dengan ujian. Tidak mampu kita bayangkan bagaimana pengorbanan Ibrahim AS dan keluarganya untuk Allah SWT semata. Tidak hanya harta, tenaga yg mereka korbankan, bahkan nyawa dari anak yg sangat disayangi pun rela nyaris dikorbankan. Tengok pula Ismail AS, sebagai seorang anak yg patuh taat pada Allah dan perintah ayahnya, hanya semata-mata karena keimanan kepada Allah yg membuatnya mantap bersedia mengorbankan dirinya. Sungguh peristiwa yg luar biasa.. mereka mengorbankan dirinya pada Allah semata.
Lalu tengoklah diri kita,.. rasanya sangat jauh dari apa yg telah dilakukan keluarga Ibrahim AS. Mungkin sudah berapa Idhul Adha kita lalui tanpa sesuatu yang membekas pada keimanan kita.. jangankan nyawa dan sesuatu yg paling kita cintai pun belum tentu akan rela kita kurbankan pada Allah semata.. dan tengoklah diri kita di Idhul Adha kemaren, apakah kita sudah berusaha mencoba mendekat kepadaNya dengan melaksanakan ibadah Qurban karena semata kita beriman kepada Allah SWT.
Ah.. rasanya diri ini sudah sangat jauh bergelimah dosa.. lalu pantaskan kita membanggakan diri dihadapanNya… sungguh, mungkin ujian hidup kita masih terlalu ringan jika dibandingkan ujian keluarga Ibrahim.. tapi sudah beratus kali kita terjebak dengan ujian itu…
Duhai Allah pencipta langit, bumi dan isinya… ampunilah kami, ampunilah kelemahan kami, kuatkanlah kami untuk senantiasa mendekat bertaqarrub kepadaMu.. jadikanlah kami orang-orang yg beriman.. hunjamkanlah dalam dada kami keimanan sebagaimana orang-orang yg shalih.
Wahai dzat yg menentukan setiap denyut nadi kami… janganlah Engkau sesatkan hati kami sesudah mendapat petunjuk, berilah kami karunia. Engkaulah yang maha pemurah. Amin.