Selasa, 16 Desember 2008

Istriku, kekasihku..

“Jika ada suatu mahluk yang boleh disembah oleh manusia, tentu suami adalah tempat yang ‘seharusnya’ disembah oleh istrinya..” begitu kira-kira kanjeng Nabi Muhammad SAW pernah berkata ditahun 600-an. Kalau dilihat selintas, kalimat tersebut terkesan memberikan tempat yang istimewa bahkan teramat istimewa kepada seorang suami di keluarganya.. kalimat yang mendiskreditkan posisi istri (wanita) pada keluarga.. maka wajar jika para wanita pada jaman sekarang banyak yang tidak setuju bahkan menentangnya atau hal-hal yang terkait dengannya. Bagaimana tidak, istri (wanita) seolah-olah hanya dijadikan sebagai pelengkap bahkan mungkin seperti layaknya budak. Memposisikan saumi sebagai ‘sesembahan’ berarti menjadikannya seolah-olah sesuatu sebagaimana tuhan yang memang harus disembah.. seolah-olah tidak ada kamus salah dari apa yang dilakukan oleh suami yang harus dipatuhi secara total oleh sang istri.
Namun, jika kita coba mencermati makna kalimat tersebut, mungkin akan menjadi lain cara pandang diatas. Untuk melihat hal tersebut saya akan coba mengurainya secara perlahan dari apa yang telah saya lalui bersama istri saya tercinta..
Semenjak kami menikah kesepakatan untuk menjadikan keluarga sebagai sarana menggapai RidlaNya sudah ditetapkan dari awal. Konsekuensinya, segala sesuatu yang terjadi pada keluarga, maka prioritas utama adalah bagaimana ‘menggapai Ridla-Nya’ begitu tekad kami. Tapi, apakah hal tersebut berjalan mulus, tentu tidak.. bagaimana mungkin, kami menikah dengan sebelumnya tidak pernah menganal model pacaran sebagaimana layaknya trend sekarang. Artinya, kami belum pernah ‘bersentuhan’ langsung satu sama lain. Namun anehnya, proses saling mengenal dan ‘bersentuhan’ langsung setelah pernikahan menjadi keasikan dan keunikan tersendiri, maka wajar jika Prof. Quraish Shibah berkata bahwa pernikahan akan menjadikanya sebagai sesuatu yang sangat istimewa, seorang wanita akan rela berada dekat dan membuka semua rahasianya dengan seseorang yang sebelumnya tidak dikenalnya, ia rela menggantungkan keyakinannya pada suaminya melebihi keyakinannya pada perlindungan keluarganya. Subhanallah..
Begitu pula apa yang telah dilakukan oleh istriku. Sebelum kami menikah istriku dikenal sebagai orang yang ramah, supel namum belum pernah dekat dengan lelaki selain keluarganya. Masih segar dalam ingatan, suatu waktu ketika saya selesai melamarnya adik lelakinya pernah mengenalkan kakaknya melaui perakapan kami di telepon.. ‘kakak adalah orang yang sangat baik, dia sangat pandai menyembunyikan perasaan sesungguhnya kepada orang lain, dalam kondisi apapun’.. saat itu saya hanya bisa tersenyum namun juga heran, sebegitukah dia calon istriku, meski tentu dalam hati saya mengamini apa yang diutarakan calon adik iparku.
Hari-hari berlalu semenjak kami menikah, selayaknya pengantin baru maka semua serba istimewa.. namun bagi saya tidak ada yang lebih istimewa selain sekarang adanya seseorang yang menjadi pasangan hidup saya.. saya perlahan mulai mengenal siapa istri saya dan tentunya sekaligus ingin membuktikan apa yang pernah dikatakan adiknya. Subhanallah… istriku memang istimewa, dia adalah wanita yang mungkin jarang ditemui pada masa sekarang. Istriku benar-benar seperti penampakan imajinasi saya ketika dulu saya mendengarkan ceramah ustadz-ustadz tentang bagaimana wanita shalikhah itu. Istriku mampu mempraktikkan perannya sebagai istri yang sempurna. Semua begitu indah baginya, hampir tidak pernah saya melihat istriku mengeluh tentang kondisi kami.
Ah, istriku.. engkau begitu sempurna, dan saya merasa malu padanya karena ‘mungkin’ belum bisa menjadi suami yang sempurna baginya. Istriku mampu membuat saya ‘minder’ ketika berbuat salah.. padalah entah sudah tidak terhitung kesalahan saya padanya.. bagaimana mudahnya saya emosi adalah langganan kesalahan saya. Dia mampu menjadi pengingat bagi saya ketika akan berbuat salah. Istriku juga mampu membuat hati ini selalu berdebar jika telah berbuat salah..
Aha.. mungkin ini maksud apa yang telah diutarakan Nabi diawal tulisan ini.. semakin dalam istri mencintai dan mematuhi suami, bukan membuat suami semakin ingin berbuat seenaknya sendiri.. semakin sempurna perbuatannya sebagai ‘hamba’ kepada ‘sembahannya’ maka semakin membekas dalam pula ‘sesembahan’ mencintai ‘hambanya’. Ah, istriku kamu begitu istimewa.. bagiku kalimat yang lebih tepat adalah: “Jika ada suatu mahluk yang boleh disembah olehku, tentu saat ini istriku adalah tempat yang akan disembah olehku..”
Terima kasih istriku, engkau benar-benar menjadi kekasih sejatiku..

Goettingen, 26 Oktober 2008

Tidak ada komentar: