Belum usai kehebohan berita tentang Ponari, sang anak yang diyakini dapat menyembuhkan berbagai penyakit dengan batu ‘ajaib’nya, kini bermunculan pula kasus serupa. Sebut saja Dewi, kanak-kanak tetangga desa sang dukun juga diyakini mempunyai ‘saudara’ batu dari batu yang dimiliki Ponari. Tidak ketinggalan pula kini Irfan Maulana di Madura yang lebih muda lagi umurnya dibanding Ponari, juga diyakini mempunyai batu ‘ajaib’ yang serupa. Anak kelas satu SD ini pun konon kini setiap hari membuka ‘praktek’ dan mempunyai pasien yg saban hari selalu berkunjung ‘berobat’ padanya.
Kisah Ponari, Dewi dan Irfan menggambarkan betapa ‘rapuhnya’ tingkat rasionalitas pemikiran yang dimiliki oleh rakyat Indonesia. Bagaimana tidak, puluhan ribu orang sudah berdatangan ke rumah Ponari hanya ingin mendapatkan celupan batu dan tangan anak kecil ini. Belum lagi yang kini pasien yang masih mengalir ke kediaman Dewi dan Irfan. Memang banyak yang berkilah, bahwa itu adalah salah satu ikhtiar untuk mendapatkan kesembuhan dari penyakit yang dideritanya. Namun adakah yang sudah bisa menyajikan ‘data’ berapa persen pasien yang sudah disembuhkan oleh ‘celupan batu’ tersebut. Media massa justru menyajikan tayangan yang sebaliknya. Beberapa orang yang telah mencoba ‘berobat’ ke dukun-dukun mengaku tidak merasakan ‘keajaibannya’. Namun masyarakat seolah tidak peduli, demi mendapatkan kesembuhan, rasio itu dibuangnya jauh-jauh.
Dimensi ‘kemiskinan’
Krisis ekonomi tahun 2007 benar-benar telah merontokkan sendi kehidupan ekonomi bangsa Indonesia. Bahkan era reformasi yang muncul setelahnya seolah-olah tidak berdaya dan justru menularkan krisis-krisis ke dimensi kehidupan lainnya. Kemiskinan ekonomi kehidupan masyarakat Indonesia seakan-akan enggan berpisah. Meski ada klaim kemiskinan telah berkurang, namun jika ditengok kehidupan ‘nyata’ rakyat sehari-hari masih berkubang dengan mahalnya harga sembako, pendidikan bahkan kesehatan.
Kondisi ini seolah telah membuat dimensi lainnya yaitu spiritual masyarakat menjadi ikut tertular mengalami ‘kemiskinan’. Himpitan ekonomi membuatnya mau melakukan apa saja. Kasus-kasus kekerasan, penipuan dan lainnya yang seakan tidak muat menghiasi media massa sebagian besar dilatarbelakangi kemiskinan ekonomi.
Salah satu teori mengatakan, “segala aktifitas manusia didasari apa yang menjadi pemahamannya” . Artinya, perbuatan yang menjadi kendali pada manusia selalu didasarkan pola pikirnya. Jika ia merasa itu bisa dimaklumi untuk dilakukan maka ia akan melakukannya, begitupun sebaliknya. Sehingga yang menjadi tolak ukur adalah batasan pemikirannya terhadap perbuatannya tersebut. Jika demikian maka keluasan berfikir perlu dimiliki seseorang supaya ‘selamat’ menjalani hidupnya. Ujung-ujungnya pendidikan menjadi prakara yang mutlak diperlukan untuk menjadikan masyarakat mempunyai wawasan yg luas serta menjadi lebih ‘bijak’ dalam bersikap. Dus, jika pendidikannya mahal, masyarakat menjadi tidak sanggup menjalaninya dan ditambah biaya kesehatan yg juga tidak murah maka tidak heran jika kasus Ponari dkk ini bisa terjadi di negeri ini.
Euphoria Menjelang Pemilu?
Jika dirunut sejarah lima tahun yang lalu, kasus ajaib dan menghebohkan juga sempat terjadi saat menjelang musim pemilihan umum. Awal tahun 2004 yang lalu, muncul kasus ‘kolor ijo’ yang sempat membuat was-was kaum ibu khususnya. Alih-alih kebenaran yang didapat, ternyata ‘kasus’ tersebut hanyalah kampanye ‘terselubung’ dari peserta Pemilu.
Ponari dkk ini hanyalah bocah, banyak ahli masalah anak-anak menyimpulkan adanya orang yg ‘bermain’ dibelakangnya, entah alas an ekonomi (PAD kasus ‘ponari’ sudah mencapai 0,5 Milyar) atau alasan-alasan lainnya. Yang jelas Ponari, Dewi dan Irfan hanyalah bocah mungkin saja juga ‘korban’ dan sekarang Indonesia sedang memasuki hajatan Pemilihan Umum. Apakah kasus Ponari dkk ada yang bermain disana untuk pemilu seperti kasus-kasus ‘ajaib’ lima tahun yang lalu? Kita lihat saja, apakah misteri ‘batu petir’ itu bisa terkuak.
Goettingen, 21 February 2009.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar