Sabtu (29/08) kemaren ada kegiatan ‘fieldtrip’ yang diselenggaran oleh manajemen Fakultas Pertanian. Mulai dari pengaturan acara ini saya sudah mulai kagum. Pengumuman cukup disebar lewat email karena maklum saja disini tiap orang sangat mudah akses internet dengan kecepatan bite-nya luar biasa. Lalu juga dengan membayar 4 Euro (Rp.50rb-an) saja, jumlah uang yg bahkan lebih murah untuk membeli seporsi kebab. Harga segitu kami akan diajak ke sebuah desa berbasis bio-energi (biogas), petani/peternak sapi perah dan peternakan kuda. Jikapun diminta bayar lebih, saya kira tidak rugi untuk dapat melihat lebih dekat pengelolaan biogas secara moderen juga bagaimana kehidupan keluarga petani disini.
Rombongan berangkat pukul 09.00 menggunakan bus. Saat menaiki bus ini, lagi-lagi saya dibuat kagum. Desain bisnya yang beda dengan yg biasa kita temukan di Indonesia. Tempat duduknya yang nyaman, lengkap dengan headset untuk mendengarkan musik, layaknya sedang naik pesawat terbang saja..
Perjalanan pertama singgah di desa Juhnde. Sebuah desa yang tak jauh dari Goettingen. Pengenal nama desa yang saya lihat cuma terbuat dari papan kecil, ditulis nama desa serta ditanam dengan paralon besi kecil. Jika tidak seksama, mungkin tidak sadar kalau kita sudah masuk wilayah desa tersebut. Langsung angan saya terbang ke perbatasan-perbatasan wilayah desa, kecamatan ataupun kabupaten dan provinsi yang ada di Indonesia yang biasanya dibuat ‘megah’ lengkap dengan gapuranya.
Kekaguman berikutnya ketika mulai memasuki wilayah instalasi bio-energi (biogas), dari kejauhan saya sudah melihat dua bagunan ‘bio-digester’ tempat fermentasi feces ternak untuk diambil gas nya. Luar biasanya besarnya, berdiameter 24 meter, tinggi 8 meter, sementara satunya lagi berdiameter 34 meter dan tinggi 6 meter. Lalu lalang traktor-traktor besar yang mengangkut silase dan kotoran ternak semakin menambah nuansa sibuknya kegiatan. Instalasi ini dibangun terpusat artinya bio-digester, ‘mesin’, tempat penampungan gas, bahan organic lain, kantor dibuat dalam satu area. Semua instalasi tersebut diletakkan diluar area pemukiman warga, dibuat layaknya sebuah pabrik industri yang memakan tempat 300 ha luasnya.
Kami disambut oleh ‘guide’ yang sehari-hari juga merupakan pekerja di tempat tersebut. Beliau sudah berusia 60an tahun, namun masih sangat aktif dan ramah mengantar rombongan dan menjelaskan segala macam. Pertama kami diantar ke ruang diskusi, untuk mendengarkan sekilas profile Juhnde sebagai desa bio-energi. Kemudian, perjalanan dilanjutkan untuk melihat papan informasi. Papan informasi ini menarik juga, disitu ditempel informasi mengenai bagaimana listrik dan air panas buat penghangat penduduk dibuat, berapa watt listrik yang dihasilkan dan sebagainya. Kemudian kami bergerak mendekat ke bio-digester, ‘mesin’ pengubah gas menjadi listrik, tempat penampungan bahan organic tambahan (rumput, jagung dll). Rombongan berikutnya diantar ke ruang mesin pembangkit listrik tenaga kayu bakar dan minyak. Dua instalasi terakhir ini biasa digunakan pada musim winter ketika kebutuhan air untuk penghangat rumah penduduk tinggi juga merupakan antisipasi jika pasokan listrik dari bio-digester berkurang. Secara umum seluruh instalasi di area tersebut terdiri dari instalasi bio-digester, pembangkit listrik tenaga api dan pembangkit listrik tenaga minyak.
Beberapa hal yang semakin membuat saya terkagum-kagum antara lain:
Pertama, instalasi bio-energy ini mampu menghasilkan listrik 10.000.000 kWh pertahun. Listrik ini tidak hanya mampu mencukupi kebutuhan penduduk di desa Juhnde, namun juga dijual ke PLN-nya Jerman. Selain itu mereka mengklaim mampu menurunkan emisi gas CO-2 3.300 ton/tahun.
Kedua, selain listrik instalasi ini juga menghasilkan air panas yang dialirkan ke rumah-rumah penduduk desa sebagai pemanas ruangan. Hal ini dengan memanfaatkan panas yang dihasilkan dari proses menghasilkan listrik. Mungkin ini salah satu hasil ikutan proses tersebut. Jika sebelumnya masyarakat perlu membeli minyak untuk menghidupkan mesin pemanas rumah, kini mereka tdk melakukannya lagi.
Ketiga, berbeda dengan konsep yang biasa diterapkan di Negara berkembang, dimana instalasi dikelola secara bersama-sama oleh penduduk, di Juhnde boleh dikatakan sangat professional layaknya industri dengan tenaga kerja terampil dan peralatan yang moderen serta manajemen profesional. Biaya pembangunannya mencapai 4,3 juta Euro atau setara Rp. 60,2 M. Sepertinganya berasal dari pemerintah daerah. Sebuah nilai yang sebenarnya ‘tdk seberapa’ untuk sebuah negara termasuk Indonesia.
Keempat, konsep pembuatan program Juhnde sebagai desa bio-energi dilaksanakan bersama-sama dengan penduduk desa. mereka membagikan diri masuk ke dalam devisi-devisi yang masing-masing mempunyai tupoksi yang berbeda. Sehingga masyarakat benar-benar bisa merasa ‘memiliki’ dan merawatnya. Selain itu instalasi ini juga merupakan bentuk kerjasama yg sukses antara pemerintah - perguruan tinggi (uni Goettingen) – industri (listik) dan masyarakat.
Kelima, kebutuhan kotoran ternak ‘hanya’ berasal dari 9 peternak, namun jumlah ternak sapi perahnya mencapai 500 ekor he he.. Sementara silase dan kayu juga didatangkan dari wilayah tersebut, sehingga masyarakat juga dapat menjual hasil samping pertaniannya ke instalasi tersebut.
Keenam, jika dibayangkan instalasi bio-energi ini kumuh dan jorok karena berurusan dengan kotoran sapi, Juhnde justru layaknya tempat wisata yang cukup menarik dan nyaman. Saya terbayang mungkin ini bisa diterapkan untuk melengkapi program “Agro-Edu Tourism” di laboratorium lapang Fakultas Peternakan. Pelayanan guide yang professional, meskipun beliau sudah sepuh.. rumah singgah yang dibuat dari kayu, digunakan sebagai kantor, ruang diskusi tamu dan acara penyambutan tamu dengan desain taman yang menarik. Juga petunjuk dan papan informasi yang lengkap dan nyaman untuk dibaca, meski kali ini mereka masih hanya menggunakan bahasa Jerman.. padahal tamu mereka berasal dari hampir seluruh dunia hehe.. maklum lah Jerman juga termasuk ‘fanatic’ dengan bahasa ibunya.
Success story program ini dalam memotivasi masyarakat untuk aktif dalam pembangunan dan pengelolaan Juhnde sebagai desa bio-energi mempunyai beberapa resep. Setidaknya ada 3 hal yg saya tangkap: 1). penjelasan secara menyeluruh kepada masyarakat ttg konsep melalui village-gathering maupun informasi tertulis, juga dijelaskan masalah-masalah yang kemungkinan muncul. 2). Partisipasi aktif masyarakat dalam workshop maupun kelompok kerja (divisi) yg dibentuk, dan 3). Tenaga kerja dan individu yang kompeten yg menangani dan menjembatani antara project dan masyarakat.
Setelah kami selesai diajak melihat langsung hampir seluruh instalasi tersebut, perjalanan diteruskan melihat salah satu petani/peternak yang ikut berperan dalam program ini. Ah, nanti saja ya cerita tentang bagaimana beliau, istri dan seorang anaknya mengelola lahan pertanian seluas 100-an ha dan sapi 100 ekor…
Ruar biasa..!!
Goettingen, 30 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar